Kegiatan pramuka merupakan aktifitas yang berbasis pada kegiatan alam terbuka, namun hingga saat ini tidak ditemukan sebuah literatur pramuka manapun di Indonesia tentang penilaian sebuah resiko dan pengelolaannya dalam sebuah kegiatan di alam terbuka. Walaupun menyenangkan, sebenarnya kegiatan alam terbuka cukup berbahaya, karena banyak factor yang turut berperan menciptakan resiko tersebut dibanding dengan kegiatan dalam ruangan ( indoor).
Kegiatan alam terbuka memiliki variasi dan tingkat resiko yang berbeda,selain faktor kegiatan itu sendiri, kondisi alam pada saat pelaksanaan kegiatan memberikan faktor resiko tersendiri. Sebagai contoh, bulan Desember – Januari merupakan bulan dengan curah hujan tinggi di Indonesia. Kegiatan yang memakai sungai sebagai wahana akan memberikan resiko lebih tinggi bila kegiatan tersebut diadakan pada musim panas.
Dalam kegiatan alam terbuka, kerugian yang terjadi pada umumnya dikaitkan dengan ukuran cedera fisik. Bagiamanapun juga resiko yang terjadi pada kegiatan alam terbuka juga memiliki dampak negatif pada sisi mental, sosial, finansial, bisnis, pemasaran dan hubungan personal dengan staf atau petugas dari pihak lain.
Nah sebenarnya apakah resiko tersebut? Apakah resiko = bahaya?
Resiko merupakan sebuah kemungkinan (ukuran) kerugian atau kerusakan yang bisa terjadi. Acuan yang digunakan untuk mengukur resiko adalah kejadian dan efek ( kerugian) yang ditimbulkan. Hal ini dapat disederhanakan dalam bentuk rumus matematika sederhana ;
Resiko : kemungkinan (probabilitas) X konsekuensi (consuquent)
Dengan melihat persamaan di atas maka nilai sebuah resiko dari suatu kegiatan bisa diperoleh. Kenapa resiko harus dinyatakan dengan sebuah nilai, berupa angka? Ada 2 alasan yang mendasari hal tersebut, yang pertama kegiatan alam terbuka memiliki variasi dan tingkat resiko yang berbeda. Hal kedua adalah persepsi individu tentang tingkat resiko dan keberanian bertindak dibentuk oleh pengetahuan, pengalaman dan factor internal individu tersebut. Persepsi inilah yang membuat tiap orang melihat resiko dengan tingkat dalam sebuah kegiatan. Orang yang sangat berpengalaman dan pandai berenang akan melihat bahwa menyeberang sungai merupakan kegiatan yang beresiko rendah, namun coba tanyakan pada orang yang tidak bisa berenang tentang hal ini. Pasti anda akan mendapat jawaban yang bertolak belakang.
Karena itulah, sudah selayaknya resiko dinilai menggunakan metode ilmiah, tidak berdasarkan factor perorangan sehingga nilai resiko sebuah kegiatan akan memiliki nilai resiko yang sama, baik oleh praktisi, akademisi, pemula bahkan orang yang tidak pernah ikut kegiatan tersebut.
Untuk mendapatkan nilai sebuah resiko, yang harus dimiliki adalah sebuah data mengenai insiden yang pernah terjadi untuk kegiatan yang sama dalam beberapa kali pelaksanaan. Ambil contoh sebagai berikut, dalam kegiatan rafting selama rentang 5 tahun ( berapa kali rafting) berapa kali peralatan rusak dan kerugian yang diderita akibat insiden tersebut. Dari laporan yang ada kita bisa melihat tingkat keseringan sebuah kejadian, besar kecil kerugian yang diderita, kondisi peralatan dan orang saat insiden serta lingkungan kegiatan. Nah tanpa data – data, akan sangat sulit untuk membuat ukuran resiko sebuah aktifitas. Jikapun bisa, nilai tersebut akan lebih cenderung subyektif dari perorangan maupun kumpulan orang yang membuat.
Dalam penentuan ukuran sebuah resiko, banyak sumber yang menggunakan 3 faktor dasar yang mempengaruhi nilai resiko sebuah aktifitas. Ketiga factor tersebut disebut sebagai sumber resiko, yaitu ; manusia, peralatan dan lingkungan. dalam dunia keselatan kerja, manusia dikategorikan sebagai sumber resiko paling dominan, hampir 80 % kecelakaan yang terjadi dalam dunia industri, dalam hal ini industri apa saja termasuk kegiatan alam terbuka dikarenakan factor manusia yang mengikuti kegiatan.
Manusia | Alat | Lingkungan |
Skill – kemampuan fsilitator/instruktur/pemandu dalam memberikan materi, mengendalikan situasi, sebagai safety officer | Pakaian– apakah setiap orang dalam kelompok sudah memiliki pakaian yang memadai untuk kegiatan? | Cuaca – bagaimana kondisi cuaca? Mendung, hujan, panas memiliki karakteristik sendiri |
Perilaku – perilaku yang berhubungan tentang keselamatan dan bisa diterima oleh peserta. Apakah perilaku peserta terlalu machoisme? | ||
Kesehatan – apakah fisik,stamina dan mental peserta sudah siap untuk melakukan kegiatan tersebut? | Alat Pelindung Diri – helm, harness, sunblock, sepatu dan sudah dipakai dengan benar? | Air bersih – kebutuhan vital untuk minum, bersih diri apakah tersedia?bagiaman dengan MCK? |
Umur – remaja, manula dan anak – anak memiliki karakter dan kondisi yang berbeda | ||
Jumlah peserta – apakh jumlah peserta masih dalam batas mampu dikelola? Atau terlalu banyak sehingga butuh pemandu lebih? | Kualitas alat keselamatan – apakah jumlah alat mencukupi untuk setiap orang?apakah ada kerusakan?apakah sudah memenuhi standart? | Kontur lahan – bagaimana medan yang akan dilalui? Apakah landai? Berbukit? hutan lebat? perkampungan?panati? |
Latar belakang budaya – karakter suku bangsa, bahasa dan gerak tubuh memiliki arti yang berbeda – beda. Belum tentu bahasa A berarti baik di suku B. Ingat, Indonesia punya banyak suku dan budaya | Alat komunikasi – radio penghunbung dengan base camp berfungsi? Sistem komunikasi? | Flora dan fauna – tumbuhan bercaun dan berbahaya? binatang berbisa? |
Dari ketiga hal tersebut,semakin banyak hal yang menjadi sumber resiko dari 3 faktor tersebut maka kemungkinan terjadinya insiden semakin besar.
Mungkin sudah mulai saatnya pramuka membuat sebuah panduan tentang resiko dari aktifitas alam terbuka yang sebenarnya sudah menjadi aktifitas rutin pramuka. Dengan nilai sebuah resiko, maka akan mudah dalam menentukan spesifikasi peralatan dan standard minimum seseorang yang akan mengikuti sebuah kegiatan,dan hal ini bukanlah sebuah nilai subyektifitas dari instruktur maupun Pembina. Namun berdasarkan kajian ilmiah dan data yang valid. Pertanyaannya adalah, apakah pramuka mau bersusah – susah ria membuat sebuah system yang cukup njlimet namun luar biasa ini, semoga saja…