Sebuah harapan, kata yang ringan untuk diucapkan namun kekuatannya jangan diremehkan. Sekitar 10 tahun yang lalu, dalam sebuah achievement motivation training seseorang menunjukkan sebuah presentasi yang bercerita tentang 5 buah lilin yang masing – masing mewakili kondisi manusia. Dengan berjalannya waktu 4 lilin padam, lalu hanya tinggal 1 lilin yang diharamkan padam oleh motivator, itulah lilin harapan. Harapan inilah yang bisa membangkitkan semangat seseorang sehingga mampu untuk menyalakan 4 lilin yang lain.
Lilin inilah yang manjadi senjata kami saat menerobos sebuah bukit yang menjulang antara pantai Klatak dan pantai Nglarap. Rombongan kami saat itu lumayan besar, lebih dari 10 orang dan hampir separonya adalah cewek, jadi kecepatan dan akselerasi kami pun lambat. Saya yang ikut hanya sebgai peserta kurang resmi untuk numpang seneng jalan – jalan, terpaksa harus menghabiskan waktu jauh di belakang atau mengulur waktu berangkat, itupun bisa menyalip rombongan. Saya heran, ini jalan apa ngesot yak.
Setelah melewati pantai Nglarap, kami harus beristirahat untuk mengganti kaos kaki yang basah dan membilas baju yang kami pakai agar tidak lengket karena air garam. Sehabis makan dan sholat, kami melanjutkan perjalanan. Klatak harusnya sudah dekat, satu lengkungan bukit saja yang membatasi dengan posisi kami saat ini, sayangnya rute paling nyaman dan dekat yaitu menyusuri pantai tidak bisa dilakukan. Pesisir yang membentang di depan kami merupakan pantai cliff, bukan hamparan pasir yang ada dipinggirnya, namun tabing karang curam vertical yang berbatasan langsung dengan laut. Nekat merayap menyusurinya sama saja dengan cari mati, mana gelombangnya besar lagi.
Kondisi ini memaksa kami untuk melintasi bukit, menurut peta topografi yang kami bawa, jaraknya tidak lebih dari 2 km. Wah, sore sudah bisa sampe ini. Awalnya tidak ada tanjakan yang berarti, namun semakin lama kok tambah curam aja, belum lagi pepohonan tambah rapat. Bahkan, beberapa peserta harus mendaki tanpa menggendong ransel mereka, giman mau gendong ransel, bawa badan aja udah miring – miring. Saya sempat menarik beberapa tas ransel dengan menggunakan tali, jadi tas – tas tersebut sengaja ditinggal di bawah, kemudian saya mendaki dan mencari pohon untuk mengikat tali sekaligus pegangan. Tali tersebut yang saya pakai untuk menarik tas – tas itu, ternyata lebih berat daripada memanggulnya dipundak.
Langit sudah redup saat kami masih harus berkutat dengan evakuasi tas, tim survey pun bingung menentukan arah karena lebatnya vegetasi di bukit ini. Wah, parah juga nih yang survey. Saya lihat peta milik salah seorang kawan, tidak ada marking yang bisa dijadikan patokan dasar. saya hanya kira – kira saja posisi saat ini. “ Makde, belok kiri kayane wis tekan Klatak (makde, belok kiri sepertinya udah Klatak)”, begitu saya bilang pada salah seorang senior yang kebetulan ikut. “gak usah wis, tekan puncak disik ae ( Jangan, samapi puncak dulu)”, dia menjawabnya sambil terus berjalan.
Make sense, dari puncak kita bisa menentukan posisi jauh lebih baik dari pada di tengah belantara begini. Lewat magrib kami mencapai puncaknya, jarum jam di tangan saya menunjuk angka 6 dan 10. Gila gelap banget, pohonnya juga tinggi – tinggi sehingga kami juga sulit melihat kondisi dibawah. Hanya satu keinginan kami saat itu, jangan sampai menginap di bukit ini. Titik tidak ada koma!!! Have fun go mad, keluarakan parang tebas. Harus buat jalan sendiri untuk melintasi hutan kecil ini.
Startegi yang kita pakai adalah, 2 orang sebagai penebas jalan, bertugas untuk membuat jalan dan member kode jalan pada kelompok bila jalan tersebut bisa dilewati. Bila tidak bisa dilewati, maka kodenya adalah stop jalan. Hal ini untuk mencegah kebingungan bila seluruh kelompok harus jalan bolak – balik karena tidak bisa dilewati. Dan 2 orang sebagai sweeper di belakang kelompok untuk memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Saya yang termasuk senior menjadi sweeper. Ditengah perjalanan saya melihat sesosok putih menggantung di pohon, bercahaya seperti fosfor, jadi saya urungkan untuk berteriak ada kuntilanak, karena kain kafan tidak bisa berwarna putih kehijauan seperti itu, bercahaya lagi. Bentuknya bulat bergelung, seperti tali namun sebesar paha. “ yik, ojok omong arek – arek, ngko marai wedi malah ruwet ( Yik, jangan bilang anak – anak, kalo mereka takut bisa ruwet). Memang benar yang dikatakan rekan sweeper saya, dalam kondisi seperti ini, kekuatan mental, konsentrasi dan tidak mau menyerah jauh lebih penting dari kekuatan fisik. Sekali mental mereka drop, mengangkat ransel pun saya jamin mereka tidak kuat.
Belum juga berjalan 30 menit, “ ganti sing golek dalan, kesel ( ganti yang cari jalan, capek). Terpaksa kami berdua maju, karena tinggal kami berdua yang senior dan lebih kuat mental dari pada mereka yang junior. “Mas Puguh, sampeyan sweeper yo” kata saya kepada salah seorang senior untuk menggantikan posisi yang kami tinggalkan. Dengan parang kami tebas dan mencari jalan yang landai, tidak perduli nanti akan tiba dimana. Saya sadar, semakin lama informasi atau arah yang tidak pasti akan menghancurkan mental. Bila jalan tersebut landai, maka kami informasikan kelompok untuk maju. Dimalam inilah saya mengeluarkan darah yang cukup banyak, batang rotan yang saya tebas roboh tepat di atas tangan saya. Seperti imunisasi saja, begitu dicabut wuihhhh ternyata durinye gede, pantes darahnya banyak.
“Jam piro Kyi?” kata rekan penebas saya, “jam 8 bengi”, saya menjawab sambil tetap berjalan di kegelapan. Dari jauh saya melihat ada seberkas sinar lampu diantara dedaunan, itu pasti milik kapal nelayan. Pantai tidak jauh lagi, semakin semangat kami berjalan hingga sebuah belukar menutup semua pandangan. Terpaksa saya melakukan illegal logging, menghabisi belukar di depan saya. Ah ternyata cuman satu lapis aja, samar – samar terlihat sebuah lekukan di antara belukar dan tanaman perdu. Apakah itu jalan setapak?saya mengarahkan senter untuk melihat lebih jelas. Ya, sebuah jalan.
Semangat saya makin membuncah, tubuh saya seperti baru direcharge, sangat bertenaga. Inilah kekuatan harapan, harapan untuk segera keluar dari bukit ini. Samar – samar saya melihat lampu yang tadi saya lihat, wah berarti sudah dekat ini. Sedikit berlari saya lewati jalan tersebut beberapa meter untuk memastikannya lagi. Berkelok menurun diantara belukar, kali ini tidak mungkin salah lagi. “ jalan setapak”, saya berteriak kepada rombongan di belakang, kali ini tidak seperti yang sudah – sudah, jawaban yang terdengar menandakan semangat dan keceriaan, “ hah, beneran ta mas” atau “ akhirnya”. Ya, kita pasti segera keluar dari sini, saya mantap berkata dalam hati.
Makin mengikuti jalan ini, samar – samar terdengar suara aning menyalak dan suara lelaki yang sedang berbicara. Lampu kapal yang tadi hanya terlihat samar, sekarang seperti diarahkan kepada kami. Rupanya mereka mendengar keributan di bukit ini. Cahaya lampu tersebut seperti mencari – cari asal suara derap kaki kami, cahaya tersebut menyisir dimana kami berdiri. Namun kami yakin, mereka tidak akan bisa melihat kami dengan rerimbunan seperti ini. Hah jalan ini habis, sebuah tebing setinggi hampir 2 m menganga memotong jalan saya, tebing ini seperti hasil potongan pisau yang sangat besar karena saya tengok kanan kiri menunjukkan hal yang sama. Kalo bukan buatan manusia tidak mungkin bisa seperti ini. Saya arahkan pandangan ke depan, ternyata bukan kapal.
Seorang pemuda dengan senter berbatere 6 diarahakan kepada kami berdiri dengan ditemani anjingnya. Dia juga tidak berdiri di atas kapal, melainkan di sebuah tanah lapang. Saya meloncat turun untuk melihat keadaan sekaligus mengenalkan diri pada pemuda tersebut. Ternyat saya berdiri disebuah jalan tanah yang cukup lebar, inilah jalan lintas selatan yang ramai dibicarakan banyak orang tersebut.
“Klatak, taksih tebih?’ kami bertanya pada pemuda tersebut. “Wah sampeyan kebablasan mas” ternyata hanya terlewat 200 m, kami berjalan melalui jalan pemerintah tersebut untuk menyampainya. Saya menoleh kebelakang, melihat bukit yang baru saja kami lewati membentuk bayangan segitiga yang menghitam. Alhamdulillah, kita bisa keluar dari sana mala mini. Untunglah adik – adik kami yang baru ini tidak semuanya yang patah semangat dan memelihara harapan sehingga mampu berjalan selama itu dimedan sesulit itu. Jarum jam menunjukkan 9 malam lewat. Ahhh.. saya lapar sekali, belum pernah saya selapar ini sebelumnya.